Peringatan detik-detik proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekira pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
Perang Gerilya Jenderal Soedirman
Perang gerilya dipimpin oleh Jenderal Besar Raden Soedirman, perwira tinggi kelahiran 24 Januari 1916. Strategi perang ini merupakan respons atas Agresi Militer Belanda II. Dalam kondisi lemah akibat penyakit TBC, Soedirman tak gentar untuk terus bergerilya melawan penjajah. Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mereka berjalan jauh melewati hutan, gunung, sungai, dan lembah.
Puncak perang ini terjadi pada pagi hari di tanggal 1 Maret 1949. Serangan besar-besaran ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan fokus utama di Yogyakarta, ibu kota Indonesia pada masa itu. Dalam waktu 6 jam, Kota Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Indonesia dan peristiwa ini dikenang sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sedihnya, setelah peristiwa tersebut, Soedirman masih harus berjuang untuk melawan TBC. Ia dirawat berpindah-pindah, dari Panti Rapih, sanatorium di dekat Pakem, hingga pindah ke Magelang di bulan Desember 1949. Soedirman mengembuskan napas terakhirnya di Magelang pada 29 Januari 1950 pukul 18:30 pada usia yang relatif muda, yakni 34 tahun. Selamat jalan, pahlawan!
Baca Juga: Biografi Inggit Garnasih, Wanita Tangguh di Balik Sosok Soekarno
Perang dahsyat juga pernah terjadi di Bali yang dikenal dengan Puputan Margarana, tepatnya pada 20 November 1946. Sang pemimpin perang adalah Kolonel I Gusti Ngurah Rai dan dilakukan untuk mempertahankan desa Marga dari serangan NICA. Masyarakat Bali berprinsip untuk terus melawan, pantang bagi mereka untuk mundur dan menyerah.
Karena prinsip ini, sebanyak 96 orang gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Sementara, di pihak Belanda kehilangan 400 orang akibat Puputan Margarana, lebih banyak dari pihak masyarakat Bali. Padahal, Belanda sudah mendatangkan seluruh pasukannya yang berada di Bali plus pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Baca Juga: Biografi Fatmawati, Istri Soekarno yang Ogah Dimadu dan Ibu Megawati
Pembacaan naskah proklamasi
Pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Mohammad Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Setelah itu, Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, tetapi ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[33] Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Monumen Nasional.[34]
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, tetapi ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[33]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Penyebaran teks proklamasi
Wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas, ditambah dengan hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.[43]
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran, sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (de facto) melainkan tahun 1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (de jure)[44] sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia diserahkan kepada Sekutu, bukan dibebaskan oleh Jepang. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi:
Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
Berikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Saudara-saudara sekalian,
Kewajiban mengibarkan bendera
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang kewajiban mengibarkan bendera Merah Putih bagi setiap warga negara yang memiliki hak penggunaan rumah, gedung kantor, satuan pendidikan, transportasi publik dan transportasi pribadi di wilayah Indonesia, serta kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri pada tanggal 17 Agustus.[45]
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.Pengibaran bendera pada 17 Agustus 1945.Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).Dikibarkannya bendera Indonesia pada 17 Agustus 1945.Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta BPUPKI Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?†Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia. tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Kita patut bersyukur dengan kondisi kemerdekaan Indonesia saat ini. Keadaan yang aman dan layak ditinggali seperti sekarang adalah buah kerja keras pejuang di masa lalu ketika berperang untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan dedikasi penuh, para pejuang rela mengorbankan waktu, tenaga, harta, atau bahkan nyawa demi mempertahankan negara ini.
Tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan agama, semua kompak bahu-membahu mengangkat senjata di medan perang. Dari sekian banyak perang yang pernah terjadi di Indonesia, berikut ini 7 perang kemerdekaan Indonesia terbesar yang terjadi. Baca sampai habis, yuk!
Baca Juga: Siti Oetari, Istri Pertama Soekarno Sebelum Jadi Presiden RI
Serangan 10 November 1945
Serangan 10 November 1945 atau yang juga dikenal sebagai Pertempuran Surabaya adalah pertempuran dramatis yang akan selalu dikenang. Peristiwa ini didahului oleh insiden perobekan bendera merah putih biru di Hotel Yamato pada 18 September 1945 dan disusul dengan bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris. Puncaknya adalah tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945.
Akibat kematian Mallaby, pihak Inggris mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 agar pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan. Tentu saja, rakyat Surabaya menolak untuk tunduk. Dengan semboyan "merdeka atau mati", rakyat Surabaya terus melawan. Pertempuran berdarah ini menyebabkan 6.000-16.000 pejuang gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi.
Keberanian arek-arek Suroboyo juga dipengaruhi oleh Bung Tomo yang terus mengobarkan semangat lewat pidatonya yang berapi-api. Tokoh lain yang tak kalah berpengaruh ialah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, dan kyai-kyai pesantren lain. Berkat peristiwa ikonik ini, tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Nah, itulah 7 perang kemerdekaan terbesar untuk merebut kemerdekaan yang pernah terjadi di Indonesia. Semoga bisa menambah semangat patriotisme dan menumbuhkan nasionalisme pada kita, ya!
Baca Juga: Indonesia Harus Rukun, Ini Efek Bertengkar Online ke Kesehatan Mental
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
Tidak hanya perbedaan yang mencolok dalam jumlah korban, tetapi juga perbedaan pendapat yang tajam tentang keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pendapat tentang kembalinya Belanda setelah pendudukan Jepang selama lebih dari tiga tahun. Pandangan-pandangan yang berlawanan disertai dengan gambaran-gambaran yang saling bertentangan tentang 'musuh' dan tujuan, keandalan dan metodenya, baik dalam pertempuran maupun di meja perundingan. Di samping perbedaan-perbedaan tadi, tentu ada juga contoh saling pengertian, rasa sesal, dan keinginan untuk rekonsiliasi, baik selama perang dan, terlebih lagi, setelah perang berakhir. Tetapi, bingkai perselisihan (yang dibangun di atas sejarah panjang kolonialisme) masih hidup sampai sekarang.
Arsip dan perpustakaan adalah habitat tradisional para sejarawan. Akan tetapi, penelitian sejarah modern semestinya juga merangkul sumber-sumber yang berada dalam jenis koleksi dan lingkungan yang lain. Selain itu, sumber-sumber baru kini bisa diperoleh melalui sejarah lisan. Bijzondere Collecties Perpustakaan Universitas Leiden memiliki banyak koleksi sumber unik yang berhubungan dengan kolonialisme Belanda, yang dikumpulkan oleh KITLV. Pameran ini menampilkan materi pilihan yang menggambarkan tahun-tahun Perang Kemerdekaan di Indonesia, yaitu tahun 1945-1949. Sumber-sumber yang tersimpan di Koleksi Khusus Perpustakaan Universitas Leiden tersebut tidak hanya dapat menjelaskan perang yang pernah berlangsung, tetapi juga menunjukkan betapa berbedanya cara pandang masyarakat saat itu. Oleh karena itu, pameran sederhana ini juga merupakan ajakan kepada semua pihak untuk merenungkan kembali bingkai pemahaman masing-masing atas peristiwa sejarah ini.
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 13 0 R 14 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.4 842] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ½\ks·Õþîÿ~$;æj�½g:�ÄqÜ8i2n·™NÒ”D],Yb$Ò©ûë_\Î�«XMÒ°âÀ98—ç\ òè«ûíÕùêt;ûóŸ�¾ÚnW§—ë³ÙÏGÇw›Ú¬�Þ®.®nWÛ«»Û¿üeöòÕ׳_Ÿ?k›¢UÕ¬ëu13]×EßÏtU”º™Ý¯Ÿ?ûéO³ÛçÏü@óÌì²_?vôZÍT9;>þLÍJó¯šueÑÃä¡-úÙñ‡çÏÊÙ¼üõù³Ÿçoÿž÷üÙ7fîߟ€Vå&'i½[tö¿¿˜éŲ™·‹e5WðR?-Jë¢Ìq±|jZMQçhÙvðÒ¸mªv>ûe¾Xöó <¸_¨j~µXªn~ŸmY<1w]›çnö´´ª².†?†TSõ0+EkVš%fǧ†¦ûç‰)7}QõÌ.ƒãö �yî»EóǺSš�ÿ‘?¥‰U°½^çZÆiÀŸÚù¼·NtÕ˜¿Íƒµð¹NÕI{£—,‡‘ 8r•*= Ы¡h»$ÐÃÀ Ù‚qÓ%W5uUÆ4¿]Ý©óHåâªÜ_VHc³ý,6Œl›4ä€oÖÖ7UÙèòiÉUŽlÊF?�T[tvX=í]ÍtèùRUo \çLüŸt¬»ÝØȵC“Zÿ¬I«¢ÉrÒ<1®°éØÇþlZà ÿhÄ«•ê�KÄ=µŸjkÅ9 }ZZ&jN…ÌÏ¥Õ©BeiCîe¡ï^v5ž–‰¦ÔÙ FèR?-U3\u¹-�C£©Q—ÑɧÓÀù¾efßüðõì(Sg½¼Ûnï>äJ- Ô6 ‚’ë3ÚÜP—GhMU誛ժ/šÊl±Ð£úM›%`˜ù?;LÇÃrù�É6Z3µµSÇLüýs T�*:¹þw;Ä› ¬lZeÁ~öÖd�kLÎàWÀ°?¯í—[‡S%K;NÐíìë§ÜKÝuÅ°_Xæ%®IÈŒ)šWã‹÷Æâê¾84Äk ÚZ�›jÖ=ÿðl5Oð±÷‡ÜÇ~v=ØuËÿêÇÔhLnL´ñº ÍñdªÆ:« ôkÌjz¡=i”Tà�jJúödÍr€AI²I§Û}; ¡˜ô·,ê²,I”m@p0ÿuôlZ×Àb•ªádóÅ0/&Y›ìI_<‰/7�Ð*™±uÐŒP¾I˜5es€2+ÁÂÎŽÞ¶þðõ›W³òèo«Û‹ÙüáãòÝ7¦G¯ ÊÕ‚‚±à¹3*ôñàçù[[‚Ý›5 >�™´ñ{À”õ‡õý¢6€±Ôóõu{�` ‰õV«Û°Ð›´LÌvH—ÜÛõÃÕÊœ™�)SÖs5Ôð¼ÉA|mªIe™Ú”…’Cý⃩0+ËÖYnî` *ÚÍ�áÑ` ªít/°‡Í–½Þ. »ùùb9dƒ”VÆ Œ ê’–~ëlÍîïÍ +Xf}áÀ¶ãt˜b죘˜µÊíÂÄ"H�9©½¤„ÍÔ3¥„Íè¡3¡§Ó¦œš´œŽM02ro‚ªßrë}c¬ÂšZcda»°_óèG#ü]x|¬6f5óí —‚ ¢}Ô`ëloÄe^Þ*³"VU¯l—ƒ³úb¡”ãí ¼ÌàíO�±O]‡vÔÆtlÄõû»„ öía¶ug‚l'ÙÖ‡ÙÖÝ “\[^ÍË·63°‰‚çøµýÃ|d9{0O>˜ÿÜNqY „Žç²:ÌeÕ93M³ù7àÌjþZ0Äú¯�”(™ÌÛû „ë`J“Œ¤QÖÅ>êÃûh õéù> ·.¿Èâ� uo¢Ï¼Ê<†ß¦í^¯P ?¡ÝØM¿‡·ÎäZáµU+€Ò²!pˆQ7™ €Îí¨¨Ø®�ÈJؼb möðB/†ù‹ ^jx±åõî@˜°ž©r’ì Á7Ú ž�ý¿ˆ¼´™´þ rÿ ï· rðƒ³.ûÉÖù äÌ—$›A�=†¾ƒè’år$Ä:Q)ÈÔô¬5åórçu† 2b¹° Ý㾑c?¬¼Lnr“êª6‰™þ9 ¨Æ¢ª˜eg¬QŒg ä;û'èeoO˜€[§–;æÿ ö]gþúÒDMÝÕzU¹4óÂÚÕé�–±qEþRU`ùFwMŸ�c19\%¥IØöÛ"ϧ…©Ã– ßMòš“Âå"¼v¿¼r™y»s3œmžÚ¿`qj3ÞPm‚ d¯|Gã 2ÚQÝÙ’&ë ;~·YÝ¢)7 S6Y4¤¹mÓ?Ìîa#‚\NWh{uZƒJáÙ‡}NÕîG¦²…|¶mmŸ‹ec RÊßÊtát áhÕÁaÇX876#‚à8õ�O=߀?¬ðC°˜‡§2›ª,zqÉÔûÝG‚Ž=ª¦ˆLbh }†±XÞ›M`\‹øÍ¥4Þ™Þ‡.Gìzˆ&_ÚΈ“HË…S#®ÆxׄHÖ¨Ò•¼¸¿1bðÅßf»|ù�E,òT"ßÖÍĵUgòÑz�U4íñ«E¥ Q7–·Xv Xã¯÷µy{½—œJøAeb˜’$öó¬½@®Î–o^-¦T6Iø&.^åIÛómÙ‘¸Zƒ$.\þfþº· IJ³±¡îMYas?Ûª³y½u Ü´hŒ_-´¦) DŽ5Œ²3×´®y´q’Ü”[6�V³m]Ó°³ëv6bÁ]�KºWÈœ\ÚLûdé†.ѱ ±p–~û©Ý—e‰D°u9¾yûÂ�®ÀÅ—ÞÎnPB|++¾€ÄÊxÕ5C !Ï'CÈÀÍ¢vŸ =XðÚŸY�*£¿ƒÀÓ.°°sBô«�Ôe×ùÔå…#üö‚LýÓ3r�2& Õã@³îe)Õà¹% "þZ“4v‡›%¡¿ ~P hâ4xDðÖ×Õðt#&ñut-²Söë°g)‘Ÿ´ UVLÂüGŸîÑ.üÍEŽšY&J˜�#÷½@–8@ô )üe@cí–8shD;FåÝ*»2ŒÞ úD Ì‘¦$½ïJ3CÖ7lù·PKIÄ☱_»í@àúÎ-ä \± 2µí”Är¤©K”¬wltåpš5ìÈ‘_IùNÛ]ÚJ-Þ?Cëð`3R—íâ‡ò¾uÇ‚‚pÞ›òËÜVOæÁ /5¼d[±ƒb…¨rEe]–p|.Æ*`ƒÈØ¿~Y@ñïÍ& ‚åÒBÕ:@’,NÚ}.sqrH4-œ:‰øeBÅ„h�Ä~6èÂ"j¥;èŠù5>‰0Íæ‡o¶"ôéfà-£÷6!¶ã�tY¼—|[v†ù)·XüصYÃÖ£ðšÞʵˆÝˆ ºf<$¬fS(L„ÚCê¬+0;§Îk„è3$„xpËГk³Ÿ¿t>¸ä¹YÛ*4�û‘ÆðË7©‘Þº�¥xØ-½ ȶe‰e…;ù×µ�}?r�}àÑÚÌz…É)Ë’B³MÈ0Û¼áhB³bÖa�Ta„Ž·S¼´R€n›1ù²‡ÈòIôZN.îìLP{_B«7åЇš. óVYW:!a!WLP•D:òµÀb4nƒ¾Î×� À§$tœÍ–ÙR�1žÜãR¤ ‰8` ûÙv„Ìß�Êm¿æ:†™]·qaìkQóto-ªK{Ž,ØÊÕ¢pDÓFcy-þ ù°áâôÊ…¨ùù0j«¶ó»qk Ñ‚)öm ݤqí…cØ*n'q8Q @ÚºÓ’.èj‚ꛆP•û�RÄ}\eŽº¡”5¬¢9Øûu“kqx“�»yÿ‡¶ˆ9•`o&Jå©™=Jk°1I“Ïð-åXÜ$ºÀn0òR7Ó:Á‹hÃ,Ò¯$k£Þé¸Ý-º¨wåTï�ƒCŠ¯uÑ%ôîãÐA&’ß-Ê€‡+iÄãº�|Ï#ó©-¦‰ÃêÁÜ2™¶,ÛÂ`ý®u‰[Ã&.?A“¶Š¦¬„5XêÜ0hVQ•%ÒTzeÔK!Jãœ6p ¤1Pß îï0,bt;÷g…eö�ò+¸LNö–ÍáÔE¦‘¢_ŽÉí¨çb»wÆ<žÁjQ¯-J™ü‘ïÈŒ�óF]ÞŒ0¸N»vKq ƒAQÖ5ooós¢ZÝï†7W<ÎD ajr ]«®%t2urM�1l.» F�êv€kCœ~Âô�ßâ©àuœŠ¶mVyW ¼rù6•ƒCiFd”•“�h®üJ„·X åÊdQU2E½eŽq-/úNÐ/P5Ú–¥ŸV ¿-‚tÙDY#ÚçRMÒ€1Œ|:éÇTe”)òDq>…3´öü9J¦\ÁÅI$AUŠ 5¾Gȯj)±ñìÕò¾ƒÃGFyêÀ5x\¦�šGƒè¡¥o0ó-¦¸5hÄö ]®˜Q¾Ì'i®æ�Ž;œÙ¨=§¡2Mj‚ñq(uó~>;D kùì3S€é 0Îl&Ðë`ôgR–ðq×2¹E óöKµn�æ§u�¥XkJ)†ÀáVFÇAŒw"ÁòL%‘ï×nÛ"Þœ±0°Œ›oÃQÕ6eu&0ÿ¾Ã ¹€5ÊŠ„ßÂjèXã*/|.iÇ�š2Š�`“M�¸•GKQcq#è‰óêCcûjEo2l:ur¡î*g"ö}ØU›AwÊå‘fÊÍ‘f„ß,}ß·Ô¥s]Ú//q拽‹¤®ûêÒÞhå‹ì¿l×úËvçWË×oFßkK^¶szÊâ]nñxEm¿Z€-/<¸Á(c‹@êaµpâá®�~±hGöpôº‰yWUUÄ”^9Sd)°¦kÄfþW÷S*Ö0ÁuÇ#Á©ÃÐü×ñº väRU¨qfœïEŽ´·�l¯ìeR«Öþ”…�Á~öyëÈ]ŬT;uõáÐÍWûŬª¬à'b¦Ü|=uÏö}m®L^ŠAÒÙÿÝ;•»¡*ï¼êAM…Ö“d«»¾ÐaÁc,<Ö!–�º”@»(eÁÈì>$´¦”5�ä))©Sc–€Äϳ|Ÿ óCÚÃäò#b·[…zç˜$E§1ŽòCžìÆ-Ç+PœÈ8ù4”a ¨!1)Å ¡ðÖÎýhCÙÊë£ÈÄ/ _zîxsõ&„&êÉ Í·-‹N–j¤ª¸?óë~L mY™ÎÚm©KœŽTåž’a = ‡ïìè*A£9D;§+]Ö ú�D&·Ý¶e:‚5åýײCJØÄÄ-ROa‘³õÿÚ_ŽâŒGÆúÛo �†�¾…¶ìÈÙðº$Ù¾’yuRµlµ}r ¼Òþ@윮Žlž2½ro�ÖûÄÅ©'77ÃîÇËŽ²S?�ˆ¡£…s÷jH c5L<ÅÂbÃ\7½ñÜýJû«B #ªÇx¶ˆ(ô�éŸÂŽÑý3‰F\f'èÃî,úp“A×%…ª^°§šE³=�#¨d_à0~7ÞXU ÉŽ–^#:¥ŽxìvO#ÜÝœÝ×hR}1H‰d;MZ‘ðR&~oÖ0c•FÒãÞ÷H1²õ„˜‡îÖÂì”%;Ò»¤&UGZw”çP9$Ï KO}O5ÜôÚJØ‹Qõ”Žhäéd¸™Öa=eqH”Œ&p(À- ¦ñ:å!y’Ÿ%ÈMX nÃâÐ�TÄ6lÛ†<›ˆÉ™�ð³l®K-ÄŒ~\„Q5\ÈdEö_ì6ð¤G3ë¿‹’Y`¾uFCøNUˆY™ƒ‹¾+b¦²_¨ìïOŠ±wÎo†`Âú1NM¿Ô¾-Ä€®êÆN§ðh5GÐWü¥Ù|±I³y„Ívýltp/Vœ˜éTü~Ô†¸Ó�^ÚO0…¦óé �T]ê‘Š!Ž P—¤ýž£¯ÝЖè ÄP
¾Ì'i®æ�Ž;œÙ¨=§¡2Mj‚ñq(uó~>;D kùì3S€é 0Îl&Ðë`ôgR–ðq×2¹E óöKµn�æ§u�¥XkJ)†ÀáVFÇAŒw"ÁòL%‘ï×nÛ"Þœ±0°Œ›oÃQÕ6eu&0ÿ¾Ã ¹€5ÊŠ„ßÂjèXã*/|.iÇ�š2Š�`“M�¸•GKQcq#è‰óêCcûjEo2l:ur¡î*g"ö}ØU›AwÊå‘fÊÍ‘f„ß,}ß·Ô¥s]Ú//q拽‹¤®ûêÒÞhå‹ì¿l×úËvçWË×oFßkK^¶szÊâ]nñxEm¿Z€-/<¸Á(c‹@êaµpâá®�~±hGöpôº‰yWUUÄ”^9Sd)°¦kÄfþW÷S*Ö0ÁuÇ#Á©ÃÐü×ñº väRU¨qfœïEŽ´·�l¯ìeR«Öþ”…�Á~öyëÈ]ŬT;uõáÐÍWûŬª¬à'b¦Ü|=uÏö}m®L^ŠAÒÙÿÝ;•»¡*ï¼êAM…Ö“d«»¾ÐaÁc,<Ö!–�º”@»(eÁÈì>$´¦”5�ä))©Sc–€Äϳ|Ÿ óCÚÃäò#b·[…zç˜$E§1ŽòCžìÆ-Ç+PœÈ8ù4”a ¨!1)Å ¡ðÖÎýhCÙÊë£ÈÄ/ _zîxsõ&„&êÉ Í·-‹N–j¤ª¸?óë~L mY™ÎÚm©KœŽTåž’a = ‡ïìè*A£9D;§+]Ö ú�D&·Ý¶e:‚5åýײCJØÄÄ-ROa‘³õÿÚ_ŽâŒGÆúÛo �†�¾…¶ìÈÙðº$Ù¾’yuRµlµ}r ¼Òþ@윮Žlž2½ro�ÖûÄÅ©'77ÃîÇËŽ²S?�ˆ¡£…s÷jH c5L<ÅÂbÃ\7½ñÜýJû«B #ªÇx¶ˆ(ô�éŸÂŽÑý3‰F\f'èÃî,úp“A×%…ª^°§šE³=�#¨d_à0~7ÞXU ÉŽ–^#:¥ŽxìvO#ÜÝœÝ×hR}1H‰d;MZ‘ðR&~oÖ0c•FÒãÞ÷H1²õ„˜‡îÖÂì”%;Ò»¤&UGZw”çP9$Ï KO}O5ÜôÚJØ‹Qõ”Žhäéd¸™Öa=eqH”Œ&p(À- ¦ñ:å!y’Ÿ%ÈMX nÃâÐ�TÄ6lÛ†<›ˆÉ™�ð³l®K-ÄŒ~\„Q5\ÈdEö_ì6ð¤G3ë¿‹’Y`¾uFCøNUˆY™ƒ‹¾+b¦²_¨ìïOŠ±wÎo†`Âú1NM¿Ô¾-Ä€®êÆN§ðh5GÐWü¥Ù|±I³y„Ívýltp/Vœ˜éTü~Ô†¸Ó�^ÚO0…¦óé �T]ê‘Š!Ž P—¤ýž£¯ÝЖè ÄP
© 2024 — Perpustakaan Amir Machmud
Didukung oleh Kementerian Dalam Negeri
Saya beruntung bisa menonton sekuel pertama Merah Putih ketika mendapat undangan press screening pada 3 Agustus 2009. Pada waktu itu bagi saya Merah Putih pengobatan kerinduan terhadap film yang berlatar belakang perang kemerdekaan. Pandangan pertama jatuh hati.
Sebelumnya film terkait peristiwa revolusi yang saya tonton adalah Naga Bonar beberapa dekade sebelumnya, tepatnya pada 1987. Film situasi komedi yang menjadikan Deddy Mizwar jadi ikonik ini juga meninggalkan kesan mendalam, bersetting perjuangan laskar Sumatera Utara menghadapi tentara Belanda.
Pertama, Merah Putih ini berbeda karena mengangkat isu pluralisme dalam laskar Indonesia yang benar-benar berupaya representasi se-Indonesia.
Jika Naga Bonar mengangkat kerja sama etnis Batak, Melayu, Jawa melawan Belanda sesuai dengan sejarah sosial daerah Sumatera Timur, jika Enam Jam di Djogja, Serangan Fajar dominan Jawa, maka Merah Putih tidak demikian.
Saya sebagai penonton berkenalan dengan Tomas (Donny Alamsyah) pemuda Minahasa yang Kristen, Dayan (Teuku Rinu Wikana) pemuda Bali beragama Hindu, Amir (Lukman Sardi) pemuda santri desa dari Jawa, Marius (Darius Sinathrya) pemuda kota yang arogan.
Lima sekawan ini bertemu ketika mengikuti latihan militer di sebuah barak di kawasan Semarang Jawa Tengah. Lalu ada tokoh Senja (Rahayu Saraswati) sebagai resprentasi para perempuannya. Settingnya pada 1947 sebelum Agresi Militer Belanda I.
Tidak mudah mempersatukan beragam manusia berlatar belakang budaya berbeda yang sudah terkotak akibat kolonialisme terungkap dalam dialog-dialog.
Thomas sempat dicurigai karena banyak orang Minahasa yang menjadi KNIL. Padahal Tomas menyaksikan orangtuanya dibantai tentara Belanda.
Dayan misalnya disindir, bahwa banyak bule di Bali. Tetapi dengan enteng dia menjawab: "Pulau kami adalah yang terakhir yang dijajah Belanda".
Bagi mereka yang mengikuti sejarah Indonesia mengetahui bahwa Bali baru dikuasai Belanda setelah perang puputan di bagian selatan pulau itu pada 1906-1908.
Lihat Film Selengkapnya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).
Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:
“Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik”
Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.
Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[1]
Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[5]
Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai “Soekarno” menggunakan ortografi Belanda) dan Mohammad Hatta,[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[7][8]
Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.[9] ( DARI WIKIPEDIA )
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri) pukul 10:00 waktu Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).
Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:
"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik"
Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.
Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[1]
Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[5]
Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai "Soekarno" menggunakan ejaan Van Ophuijsen) dan Mohammad Hatta,[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[7][8]
Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.[11] Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.[12]
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945.[14] Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.[16] Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri.[18] Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) serta Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[19]
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.[20] Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10.00 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda Tadashi untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.[21][22]
Penyerbuan Batavia
Mungkin, perang ini tidak "sepopuler" perang lain. Tetapi, penyerbuan Batavia adalah salah satu peristiwa ikonik yang terjadi di tahun 1628-1629. Perang ini dipimpin oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram yang menyerang Batavia (sekarang Jakarta), pusat VOC di Nusantara pada masa itu.
Serangan pertama terjadi di Benteng Holandia pada Oktober 1628. Meski membawa 10.000 prajurit, pasukan Mataram hancur karena kurang perbekalan. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa, bahkan sebagian ditemukan tanpa kepala!
Lalu, serangan kedua dilakukan dengan membawa 14.000 prajurit. Sebagai antisipasi, mereka membangun lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun, mata-mata VOC menemukan lumbung beras ini dan menghancurkannya.
Pasukan yang lemah akibat kurang perbekalan, menjadi semakin lemah karena wabah malaria dan kolera. Tetapi, Sultan Agung berhasil mengotori Sungai Ciliwung dan membuat Jan Pieterszoon Coen meninggal akibat wabah kolera yang melanda Batavia.
Kalau perang-perang sebelumnya melibatkan sipil, Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) melibatkan elemen militer. Tujuannya untuk merebut Irian Barat, karena pihak Belanda masih menganggap wilayah ini sebagai salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Panglima perang dalam misi ini adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Indonesia membekali dirinya dengan berbagai macam peralatan militer, seperti helikopter, pesawat pembom, kapal penjelajah, pesawat pemburu supersonik, dan lainnya. Pertempuran dahsyat pun terjadi di Laut Aru pada 15 Januari 1962. Dalam pertempuran ini, Komodor Yos Sudarso gugur karena ditembak oleh kapal Belanda.
Konflik ini berakhir dengan Persetujuan New York pada 15 Agustus 1962. Markas Besar PBB di New York menjadi tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda. Isi Persetujuan New York adalah Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada pemerintahan Indonesia.